Halaman

Rabu, 05 Desember 2018

Berbedakah Bersyukurku? Antara Dahulu dan Sekarang

Dahulu ketika kecil aku pernah berfikir bahwa menjadi orang dewasa itu kelihatanya lebih enak. Bisa lebih banyak melakukan kegiatan tanpa ada yang melarang, kumpul - kumpul sama teman tanpa harus disuruh pulang, bisa pergi kemanapun dan kapanpun sesuka hati.
Tetapi ketika sudah dewasa ternyata pemikiranku menjadi sebaliknya, lebih enak menjadi anak - anak...

Tidak harus berpikir tentang beban tanggung jawab, tidak perlu memikirkan status sosial, bisa acuh tak acuh pada lingkungan sekitar, bahkan melakukan sebuah kesalahan pun pasti dimaklumi kerena masih anak - anak.
Ternyata... diriku juga bagian dari golongan orang - orang yang belum bisa menerima sebuah keadaan diri dengan ikhlas, atau kalau bahasa ngetrend nya kurang bersyukur...
He... he... he...

Begitu juga kehidupanku sebelun hari bersejarah itu, kalau aku flashback sebenarnya kehidupanku walaupun dikatakan belum mapan tetapi alhamdulillah dalam hal kebutuhan pokok tidak pernah kekurangan walaupun juga dalam kategori sederhana. Alhamdulillah nya juga sudah ada seorang istri yang menemani dan dikaruniai seorang anak. Tetapi mungkin akunya juga yang kurang (bukan tidak lho ya...) bersyukur. Dalam arti belum bisa bersyukur seperti bersyukurnya orang yang berjalan dibawah pohon kelapa dan ada buah kelapa yang jatuh tepat disampingnya tanpa mengenai tubuhnya...
Atau mungkin bersyukurnya orang yang mengalami kecelakan dari motor dan ternyata motornya masih utuh dan dirinyapun tidak mengalami luka apapun...

Tetapi setelah hari bersejarah itu, rasa bersyukurku menjadi seperti hilang sama sekali. Aku juga merasa ketika mendapati keadaraan buruk tersebut yang belum pernah terbayangkan sebelumnya, berasa amat sangat sulit sekali untuk bisa menerima keadaan seperti itu.
Yang dahulunya bisa pergi kemana-mana sesuka hati, sekarang harus bedrest total diatas kasur...
yang dahulunya bisa beraktivitas dengan segenap kemampuan, sekarang hanya diam dengan rasa nyeri yang melanda setiap waktu...
Yang dahulunya bisa begini - begitu, sekarang hanya bisa begini - begini saja...
Bahkan pikiran untuk mati saja selalu berkecamuk dikepalaku.

Aku dulu juga ingat ketika sebelum hari bersejarah itu, mulai baligh sampai dewasa aku belum pernah menagis sekalipun dalam keadaan apapun. Memang pernah suatu ketika kala masih kelas 2 tsanawiyah (setingkat SMP) waktu itu dikirim mewakili sekolah mengikuti seleksi jambore nasional di Banyuwangi, aku hampir menangis (tapi tidak sampai meneteskan air mata) ketika berpamitan kepada bapak ibu. Perasaanku waktu itu campur aduk antara takut bercampur bingung karena sebelumnya aku belum pernah pergi jauh sendirian.

Tetapi setelah hari bersejarah itu, hampir tiap hari linangan air mata selalu menghiasi hari - hariku. Nonton tv kalau acara atau filmnya bertemakan kesedihan pun pasti membuatku menangis karena teringat keadaanku, sesuatu keadaan yang belum pernah terjadi pada diriku sebelumnya. Bahkan kalau kakak ku datang menjenguk aku selalu menangis sejadi- jadinya....
sampai beliau bingung dan pernah bertanya " apakah kami salah membawamu kerumah sakit bukan ke pengobatan lainnya... "
Sebenarnya usaha keluargaku untuk mengusahakan kesembuhanku sudah dilakukan dengan beberapa metode pengobatan, tetapi mungkin Tuhan Yang Maha Kuasa belum memberikan izin atas kesembuhanku.

Setelah hari bersejarah itu, selang waktu demi waktu, bulan demi bulan, bahkan butuh tahun demi tahun untuk diriku bisa mulai menerima keadaanku. Kalau kata orang bijak waktu yang akan menyembuhkan segalanya... kelihatanya itu juga berpengaruh pada diriku.

Dengan ketelatenan istriku yang merawat dan tetap setia menemani dalam keadaan apapun disertai perhatian dari seluruh keluarga dan saudara - saudaraku, semangat untuk tetap menjalani hidup mulai tumbuh dalam diriku. Menonton ceramah - ceramah agama yang khususnya bertemakan tentang cobaan mulai sering aku lakukan. Ternyata selain meratapi hilangnya beberapa kenikmatan yang ada pada diri kita, masih banyak kenikmatan lain yang kadang tidak kita sadari sehingga tidak mendapat perhatian dari kita.
Dalam surat An Nahl : 18 , disebutkan ;

وان تعدّوا نعمة اللّه لاتحصوها،
" Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menentukan jumlahnya,"


Hilangnya beberapa kenikmatan dalam diri kita terkadang membuat diri kita buta bahwa masih banyak kenikmatan di alam ini yang utamanya berhubungan dengan diri kita yang patut kita syukuri.
Didalam surat Ar Rahman yang terdiri dari 78 ayat, terdapat satu ayat yang lafadnya diulang-ulang sampai 31 kali yaitu ;

فباءىّ ءالاء ربّكما تكذّبان
" Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan? "


Hal ini menunjukan bahwa begitu banyaknya nikmat yang Allah limpahkan kepada manusia.
Pada akhir ayat tersebut berbunyi تكذّبان  yang artinya kamu dustakan, bukan menggunakan lafad yang artinya ingkar.
Karena seorang hamba atau manusia tidak bisa mengingkari nikmatNya, dia hanya bisa mendustakanya saja seolah- olah kenikmatan yang ia peroleh adalah hasil kerja kerasnya saja tanpa ada campur tangan Allah didalamnya.

Pada akhirnya aku mulai menyadari, bahwa meratapi sebuah musibah itu adalah sesuatu yang sulit untuk dihindari karena pada dasarnya setiap manusia tidak ada yang menginginkan musibah itu datang, akan tetapi mensyukuri sesuatu yang tidak kita inginkan adalah bukan hal yang mustahil. Karena seperti petuah dari pada para alim ulama' bahwa segala sesuatu itu pasti ada hikmah yang bisa dipetik dari keberadaannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar